Sunday, November 20, 2016

PANDANGAN GUS DUR TENTANG KEWALIAN GUS MIEK

Gus Miek atau KH HAMIM THOHARI adalah putra KH.Jazuli Ustman, pendiri pesantren Al Falah, Ploso, Kediri. Seorang pencetus lahirnya MAJELIS SEMA'AN AL QUR'AN DAN DZIKRUL GHOFILIN yang diyakini banyak orang sebagai seorang WALI.

Jenis wali itu ada bermacam-macam. Ada wali quthb, pemimpin wali, jumlahnya satu tiap zaman. Ada wali abdal, dan lain-lain. Tapi yang lebih banyak adalah wali tak berlabel. Masing-masing wali diberi peran dan penampilan yang berbeda-beda oleh Allah. Dari meraka ada yang tahu dia wali, tapi ada yang tidak menyadari dia wali. Salah satu hal yang dianggap jadi indikator kewalian adalah punya kelebihan-kelebihan yang khariqul 'adah yakni menyimpang dari kelaziman, atau  nyleneh (b. Jawa). Tapi tak semua wali punya kelebihan supranatural. Dan yang punya kekuatan supranatural tak otomatis wali. Tukang sihir dan orang jahat bisa juga punya.

Wali bisa tampil dalam berbagai bentuk. Salah satunya dikenal sebagai Wali Malamatiyyah. Malamatiyyah adalah wali yang oleh Allah diminta menyembunyikan kewaliannya, dengan tampil buruk di mata manusia, buruk menurut standar dzahir. Dengan dipersepsikan buruk dan nista, lalu dikucilkan/diabaikan, sang wali jadi bisa fokus pada kemesraannya dengan Gusti Allah. Dengan kata lain, mono-loyalitas wali malamatiyyah kepada cintanya ke Allah-lah yang membuatnya tak peduli dengan ukuran-ukuran manusia.

Konsep tentang Wali Malamatiyyah itulah yang sering dinisbatkan ke Gus Miek yang bergaul akrab dengan dunia remang-remang, diskotik, perjudian, pelacuran dan lain-lain. Di tulisan Gus Dur, Beliau menyinggung soal kehidupan ganda Gus Miek yang kontras, dunia sema'an Qur'an tapi juga dunia hitam. Gus Miek bisa begitu intens dengan dunia sufistik pesantren, tapi pada saat yang sama berada di bar dan diskotik menenggak bir hitam.

Bagaimana kontras semacam itu bisa dijelaskan? Bagaimana Gus Dur memaknainya?

Gus Miek adalah sosok yang sangat dihormati oleh tokoh sekaliber Mbah Hamid Pasuruan dan KH Achmad Siddiq, dan juga Gus Dur. Kok bisa?

Salah satu penjelasan tentang kehidupan ganda Gus Miek adalah bahwa itu sejatinya bukan kehidupan ganda. Gus Miek sejak awal mengasuh majelis "sema'an Al Qur'an dan dzikrul ghafilin" mengingatkan mereka yang lupa pada Allah. Al-Ghafilin, manusia-manusia yang lupa, juga mencakup mereka yang di dunia hitam. Setiap menghadiri sema'an Gus Miek selalu dinanti para jama'ah nya dan tak kurang yang NON MUSLIM pun banyak yang menanti wejangan Beliau. Itulah Gus Miek 'njegur' (menceburkan diri) ke situ. Njegur artinya harus menerima resiko gupak (terkena belepotannya). Tapi Gus Miek diyakini hanya gupak secara lahir, tidak batinnya. Di sinilah Gus Miek diyakini berperan bak pawang yang bisa menaklukkan ular meski dengan resiko dipatuk. Dengan cara begitu Gus Miek menyapa kaum dunia hitam, tidak dengan cara menghujat atau merazia mereka, tapi dengan pendekatan dari dalam. Meng-uwongke (memanusiakan) mereka.

Tetapi, njegur tanpa ikut hanyut hanya bisa dilakukan sufi dengan maqam spiritualitas tinggi. Karena itu Gus Miek dihormati. Uniknya, tak semua orang yang punya perilaku-perilaku nyleneh adalah wali.
Bisa saja itu orang gak bener. Para sufi mengajarkan agar kita tak gampang percaya dengan penampilan religius seseorang, tapi juga tak gampang tak percaya.
Jadi kalo ada seseorang dengan ciri-ciri yang nyleneh menurut ukuran hukum lahiriah, jangan langsung yakin itu wali, tapi jangan juga langsung tidak yakin. Juga dengan orang yang secara lahiriah dianggap nista, jangan langsung kita menghakimi orang itu nista. Bisa jadi dia wali. Kehati-hatian ini perlu, karena kata Allah dalam hadits qudsi, siapa yang menyakiti seorang wali, Aku (Allah) umumkan 'perang' terhadap orang itu.

Dalam kasus Gus Miek, Gus Dur menawarkan tafsir baru yang menarik terhadap fenomena khariqul 'adah / nyleneh wali. Menurut Gus Dur, keistimewaan Gus Miek terletak pada penekanannya terhadap potensi kebaikan yang ada pada tiap manusia dan bukan hanya muslim,yang non muslim pun tak luput dari perhatian Beliau,termasuk mereka yang di dunia hitam. Apa yang dilakukan Gus Miek pada majelis dzikrul ghafilin dengan njegur-nya beliau ke dunia hitam, muaranya sama: menyapa "MANUSIA SEBAGAI MANUSIA"

Yang dilakukan Gus Miek adalah membunyikan genta harapan kepada mereka yang putus asa, menyapa mereka yang lemah, yang tersisih karena diangap pendosa. Menurut Gus Dur, Gus Miek nyleneh karena mentransendir diri dari batasan-batasan lazim manusia tentang keyakinannya dan statusnya di mata manusia. Karena itu Gus Miek adalah sang pelintas batas. Gus Miek menyapa juga mereka yang NON MUSLIM. Fokusnya bukan agama, tapi manusia sebagai manusia.

Doktrin teologi Aswaja tentang anugerah Allah sebagai penentu keselamatan. Keyakinan hanya Allah yang menjadi penentu keselamatan terkait erat dengan keyakinan tentang pentingnya peran syafaat Nabi. Di hadapan Allah, kita tak berhak mengklaim apa-apa. Semua prerogatif-Nya. Tapi semoga syafaat Nabi bisa membantu kita.

Keyakinan Aswaja semacam itulah yang melatari kenapa Gus Miek, juga Gus Dur, tak gampang menghakimi manusia, siapapun dia. Kalau kita sendiri saja tak pernah bisa memastikan nasib kita di akhirat, bagaimana kita bisa dengan jumawa yakin akan nasib orang lain?

Dari doktrin Aswaja itulah muncul sikap Gus Miek dan Gus Dur yang melihat manusia sebagai manusia.
" TIDAK DENGAN HUJATAN, TAPI DENGAN GENTA HARAPAN "

Dikutip dari beberapa tulisan GUS DUR

0 comments:

Post a Comment